Menentukan Pasal Hukum untuk Menjerat Pelaku Penipuan Online
Pasal Penipuan dalam KUHP
Tindak pidana penipuan pada dasarnya diatur dalam dalam Pasal 378 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan Pasal 492 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026 mendatang.
Pasal 378 KUHP | Pasal 492 UU 1/2023 |
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. | Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong. Menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu sebesar Rp500 juta. |
Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, kejahatan yang terdapat pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261):
- membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
- maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
- membujuknya itu dengan memakai;
- nama palsu atau keadaan palsu;
- akal cerdik (tipu muslihat); atau
- karangan perkataan bohong.
Lebih lanjut, berdasarkan Penjelasan Pasal 492 UU 1/2023, pasal ini adalah ketentuan tentang tindak pidana penipuan, yaitu tindak pidana terhadap harta benda. Perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara, untuk memberikan barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.
Selengkapnya mengenai unsur dan penjelasan pasal penipuan dalam KUHP dan UU 1/2023 dapat Anda simak pada Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Pasal Penipuan dalam UU ITE 2024
Walaupun UU ITE dan perubahannya tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 sebagai berikut:
Setiap orang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik.
Adapun orang yang melanggar Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 berpotensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024.
Lebih lanjut, Lampiran SKB UU ITE menerangkan perihal Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, sebelum diubah dengan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 sebagai berikut (hal. 16-17):
- Delik pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE bukan merupakan delik pemidanaan terhadap perbuatan menyebarkan berita hoaks secara umum, melainkan menyebarkan berita hoaks dalam konteks transaksi elektronik seperti transaksi perdagangan daring.
- Berita hoaks ini dikirimkan atau diunggah melalui layanan aplikasi pesan, penyiaran daring, situs/media sosial, lokapasar (marketplace), iklan, dan/atau layanan transaksi lainnya melalui sistem elektronik.
- Bentuk transaksi elektronik bisa berupa perikatan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen/pembeli.
- Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak bisa dikenakan pada pihak yang melakukan wanprestasi dan/atau force majeure.
- Karena merupakan delik materiil, sehingga kerugian konsumen sebagai akibat berita bohong harus dihitung dan ditentukan nilainya.
- Definisi “konsumen” mengacu pada UU Perlindungan Konsumen, yaitu konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Lantas, untuk menjerat pelaku penipuan online, dalam hal ini penipu tiket konser musik secara online, pasal apa yang dipakai? Apakah KUHP atau UU 1/2024?
Pasal Apa yang Dipakai?
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024, Pasal 378 KUHP, dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 UU 1/2023 mengatur tentang tindak pidana penipuan, sementara itu Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 mengatur tentang perbuatan menyebarkan berita bohong/informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik, misalnya transaksi perdagangan daring .
Walaupun demikian, tindak pidana dalam UU 1/2024, KUHP, dan UU 1/2023 tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU 1/2024 tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP maupun Pasal 492 UU 1/2023.
Jadi, pelaku penipuan tiket konser musik dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, akan tetapi dapat juga dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 apabila penipuan dilakukan secara online.
Kemudian menjawab pertanyaan Anda pasal mana yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan jual beli tiket online, maka bergantung pada pihak penegak hukum untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 . Namun, pada praktiknya, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 1/2024. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif.
Merujuk pada artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, dijelaskan bahwa dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan PN Sleman 570/Pid.Sus/2017/PN SMN. Dalam kasus ini, terdakwa menipu korbannya dengan mengadakan promo tiket pesawat palsu secara online. Karena tergiur promosi tersebut, akhirnya korban membeli tiket pesawat melalui terdakwa. Penuntut umum menggunakan dakwaan alternatif. Pada dakwaan kesatu menggunakan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016. Sedangkan pada dakwaan kedua, penuntut umum menggunakan Pasal 378 KUHP.
Namun, pada putusannya, hakim memutus terdakwa dengan sanksi pidana penjara selama 11 bulan dan denda sebesar Rp5 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 1 bulan karena telah melakukan tindak pidana menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016.
Jadi berdasarkan uraian di atas sekaligus menjawab pertanyaan Anda tentang kasus menjual tiket konser musik online, pada praktiknya Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 dan Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU 1/2024 dapat digunakan untuk menjerat pelaku penipuan online. Namun demikian, pada akhirnya hakimlah yang menentukan hukuman pidana apa yang dijatuhkan pada pelaku.
Sumber : Hukum Online
Diskusi